Perjalanan Tanpa Akhir

Semester 7, tak terasa sudah mendekati ujung perjalanan. Satu pintu lagi yang harus terbuka, dan kuncinya adalah satu kata, "Skripsi"
Ada hal-hal yang membingungnkan sebenarnya ketika sudah semester akhir seperti ini. Disatu sisi disinilah puncak penyesalan atas semua waktu yang telah terbuang dengan sia-sia selama semester-semester awal. Disisi yang lain, inilah hasil yang kita capai atas usaha-usaha yang telah kita lakukan. Yang membingungkan adalah, haruskah kita menyesal dengan apa yang sudah dilalui? Atau biasa saja? Atau inilah momentum untuk bangkit memperbaiki semuanya?

Tak ada yang salah sebenarnya jika kita menyesal. Toh, itulah salah satu cara agar kita lebih berhati-hati diwaktu yang akan datang. Yang penting semua terukur. Dalam islam pun, menyesal merupakan tahap awal, sebelum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Tapi bolehkah kita menyesal dengan apa yang sudah kita lakukan? Kita kan sadar dengan apa yang sudah kita lakukan. Segala sesuatu pasti ada resiko dan konsekuensinya. Jadi, disatu sisi gak fair dong kalo menyesal. Apa yang kita tanam, itulah yang kita petik

Biasa saja. Sikap yang terkesan cuek. Sikap ini pun juga gak salah. Pada hakikatnya, buat apa kita berfikir apa yang sudah lalu. Toh, yang lalu berlalu biarlah berlalu. Masa lalu tak bisa diulang dan masa depan pun masih belum datang. Jadi, apa yang perlu kita pikirkan? Tapi sikap ini mengindikasikan "pasrah" yang berlebihan. Dalam Al-Quran pun dijelaskan bahwa Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu berusaha mengubah sendiri nasibnya. Jadi, benarkah sikap biasa-biasa saja? Entahlah.

Sikap yang terakhir, inilah momentum waktu untuk memperbaiki semuanya. Memang, apanya yang harus diperbaiki? Baik atau tidak itu kan serba relatif. Apalagi dihadapkan pada keinginan-keinginan manusia yang gak ada batasnya. Belum dianggap baik kalau belum sesuai dengan keingingan. Padahal, belum tentu apa yang ada sekarang itu belum baik. Justru, inilah yang terbaik bagi kita menurut perspektif Tuhan. Mungkin saja, kalau tidak dalam keadaan yang sekarang, itu justru merupakan hal buruk bagi kita. Kita bisa saja terlalu sombong dengan bilang, "Oke, aku akan memperbaiki semuanya." Dalam satu sudut pandang, itu sama aja gak menerima apa yang ada sekarang, atau lebih ekstremnya tidak mensyukuri nikmat Tuhan.

Jadi, sikap apa yang harus kita ambil. Entahlah, aku juga gak tahu. Tulisan inilah yang menjadi cermin. Memang seharusnya kita lah yang harus menentukan sikap, melangkah lalu menyerahkan semuanya pada Allah Sang Pemilik Alam. Segala upaya manusia, tak akan berarti tanpa pertolongan Allah. Entah, apakah usaha-usaha yang kulakukan sekarang merupakan yang terbaik. Semoga memang menghasilkan yang terbaik.

Semoga semua lancar. Skripsi dan hal-hal lain setelahnya semoga tetap pada naungan cahaya Allah Sang Pemilik Cahaya rahmat semesta. Amin